Monday, February 1, 2021

Permulaan Malam yang Gerimis

 Yaz, setiap kali kubuka media sosial, senantiasa kau hadir dalam status-statusmu yang mengesankan. Seraya kusaksikan selalu harapan yang tumbuh di dadaku, tertusuk-tusuk runcing kenyataan hidupku sendiri hingga koyak tak keruan. Cairannya keruh, menggenangi mimpi-mimpiku tentangmu, mengapungkan serasah penyesalan yang makin hari kian menumpuk, mengotori setiap aliran kenangan sejak kita tak lagi bersama.


Belum lama kusadari, tak mungkin kubandingkan kau dengan bekas suamiku. Dia yang menikahiku saat menjadi bintang lapangan, di akhir pernikahan kami terpaksa menjadi pengangguran dan suka berjudi mengadu peruntungan. Kau yang dulu kutinggalkan sebab terlalu lambat memberiku jaminan masa depan, ternyata memiliki ketangguhan mimpi dan harapan.

Kau dan siapapun lelaki boleh saja menerka apa yang ada dalam isi kepala perempuan sepertiku, tetapi jangan harap kalian temukan sesuatu kecuali kekecewaan. Apalagi untuk menyelami hingga dasar batin, di mana rasa terpelihara bersama jejak sejarahnya. Kalian sesungguhnya perlu bertanya kembali kepada tujuan awal mengenal perempuan, terlebih kepada seseorang yang pernah memikat hatinya.

Aku bukannya sedang mengakui perihal kepalsuan yang menjadi kecenderungan sikap sebagian perempuan sepertiku. Atau semacam membenarkan sebagian besar anggapan lelaki, bahwa berkat keunggulan nalarnya, mereka merasa tahu semua hal, termasuk isi kepala perempuan. Seperti halnya penuturanmu ketika terakhir kali kita bertemu, "cukup Sel, aku sudah tahu." Kau sudahi pembicaraan kita dengan beberapa saran jalan keluar yang semakin membuatku terpikat dan merasa diperhatikan.


Taksi online yang kutumpangi melaju sedikit lebih kencang. Sorot lampu-lampu jalan, nyala terang deretan neon box dan papan iklan, tak membuat pikiranku rebah istirahat barang sebentar. Berkali-kali kupandangi layar ponsel yang terlihat begitu silau di keremangan dalam mobil, kala mendung di langit seperti hendak runtuh petang ini.

Sudah kupastikan anak buahku menyiapkan sesempurna mungkin aneka kudapan, berikut hidangan makan untuk acara malam ini di lokasi yang sedang aku tuju. Jadi jelas sekali hal itu tak perlu membuatku risau. Satu-satunya penyebab kepanikanku tak lain karena aku tak ingin kehilangan kesempatan melihatmu membaca puisi di panggung salah satu kafe pelanggan usahaku, sebagaimana poster digital yang kau pasang di statusmu sejak kemarin.

Sialnya perihal acara itu tak kuketahui sebelumnya, selain pesanan konsumsi dari panitia. Padahal terpampang jelas di poster itu, kaulah salah satu bintangnya, Yaz Prihangga, penyair nasional.

Kuingat terakhir kali kau beri kabar lewat pesan WA sebulan lalu, dan tak pernah terpikir olehku, perihal kepulanganmu dalam maksud penyelenggaraan acara ini.

"Mungkin sekitar pertengahan bulan depan."

"Sekeluarga?"

"Sendiri."

Pesan terakhir yang kuterima darimu itu serasa embun, membasahi kemarau bertahun-tahun. Sengaja kubiarkan kata itu tanpa tanggapan balik dariku agar mudah kubaca lagi. Juga supaya sebebas mungkin dapat kumaknai sesuka hati, sebelum betul-betul kita bertemu nanti.

Pukul lima lewat empat puluh delapan petang, rintik air laksana jutaan jarum yang menghujani ingatan, menyiksa kesepianku begitu tiba di lokasi acara. Kuingat pengakuanmu terkait kenangan tentang hujan sore hari bersamaan dengan putaran pandanganku berusaha mencarimu. Kulihat beberapa meja telah berisi satu-dua orang yang khusyuk bermesraan dengan ponsel masing-masing.

Pada satu meja dekat kasir, kulihat Pak Roy pemilik kafe ini duduk menghadap seorang lelaki yang bisa kupastikan bukan kamu. Ah, kenapa mataku selalu tak sesabar hatiku untuk menemukanmu, batinku. Rintik hujan masih terdengar, menimpa lamunan dedaunan, tengadah rerumputan, dan segala kebekuan yang diusiknya, termasuk genangan kerinduan yang kurasa sedikit memalukan.

Sedikit ragu langkahku mendekat, hingga terlihat beberapa buku dengan namamu tertera di sampulnya, di antara buku-buku lain yang tak membuatku tertarik sedikit pun. Tatapan mata Pak Roy menangkap kedatanganku, menyusul lambaian tangan dan sebuah isyarat agar aku mengambil tempat paling nyaman. Kubeli beberapa bukumu, meski tak pernah kumerasa sanggup meluangkan waktu untuk membacanya. Aku bukan penikmat puisi, tetapi hanya menghendakimu sebagai pengisi kekosongan hati.

"Tumben, Sel," tergopoh-gopoh Pak Roy menyalamiku.

"Pasti karena Yaz, ya? Sambungnya sambil terkekeh.

Sama sekali tak kuduga sebelumnya, Pak Roy katakan perihal ceritamu tentangku, tentang masa lalu kita, bahkan tentang pertemuan-pertemuan kita. Tentu saja kuberdiri di depannya dengan menyimpan rasa tak keruan, antara malu dan tak percaya. Rupanya dia juga menduga bahwa akulah tamu khusus yang sempat kau janjikan sebelumnya, sebab kedatanganku yang tidak biasa di acara seperti ini.

Seketika napasku serasa terhenti. Ada sesuatu di hatiku yang melambung tinggi. Segera kupersilakan Pak Roy menyambut rombongan tamu yang baru saja datang, agar ketidaknyamananku berdiri tak sempat dia ketahui. Beberapa detik kutertegun, sebelum kemudian kakiku melangkah ke sebuah meja di tengah, berhadapan lurus dengan panggung, sambil kubayangkan nikmatnya menyaksikan pesonamu tak lama lagi. Segera kupesan kopi hitam ketika seorang pelayan menyodorkan daftar menu, sebelum kembali kucoba hadirkanmu pada menit-menit kumenunggu.

Sekitar empat tahun sebelum hari ini, kita pernah bertemu sekali, setelah dua belas tahun sejak kepergianmu dari kota kelahiran kita ini. Kau bersedia menemuiku di calon toko roti yang sempat kujadikan pemikat perhatianmu agar kita bisa bertemu. Sebuah kedai kopi berseberangan dengan kios yang kusewa, serupa tempat kencan dua pasangan yang masing-masing telah berkeluarga. Setidaknya perasaan seperti itu yang pada waktu berikutnya baru kuketahui.

Saat itulah betul-betul kusaksikan pesonamu sebagai lelaki dewasa, jauh berbeda dengan ingatanku tentangmu jauh sebelumnya. Kau begitu cekatan menyodoriku beberapa sketsa ruangan yang kuimpikan, meskipun sesungguhnya bukan itu yang membuatku terkesan. Tetapi justru rambut terkucir beserta kumis tipis dan caramu memegang rokok ketika bicara, hampir menyita keseluruhan perhatianku di puncak kerinduan dan rasa penasaran yang terlunasi malam itu.

"Anakmu sudah besar, Yaz?"

"Baru masuk TK, anakmu?"

"Ngeledek kamu ya?"

Tentu saat itu kau lihat, sempat kutersipu dan hampir saja salah mengambil cangkir kopi milikmu. Meskipun begitu sungguh kusadari, kesempatan malam itu tak sedikitpun kusia-siakan. Kau pasti tak menduga sebelumnya, bahwa rona hidupku tak secantik pujianmu ketika mengomentari foto profilku. Berawal dari cerita perihal anak gadis pertamaku yang sudah SMA, berikut si cantik kecil adiknya yang baru kelas 4 SD, kutumpahkan sedanau kisah hidup yang membuatmu terpaku sampai batang rokok terakhir.

"Selamatkan dua bidadari kecilmu, Selly."

"Maksudmu?"

"Ya, mungkin hanya itu cara menghapusnya."

"Aku makin tak mengerti."

Aku tahu, setelah puas kutumpahkan segala sesak di dada kepadamu, kau menjadi sedikit banyak tahu latar belakangku. Sehingga bisa kupastikan kau bakal memahami ketika kukatakan bahwa mungkin banyak lelaki yang bisa memberikan kepuasan berahi, lebih banyak daripada mereka yang sanggup menyediakan kepuasan materi. Dan kau terlihat dingin menanggapinya dengan, "bakal lebih sedikit lagi yang mampu mempersembahkan kepuasan hati," yang langsung kuiyakan kala itu.

"Kelak kau akan mengerti dengan sendirinya," timpalmu.

Saat itu pandanganmu jauh menerawang, seolah hendak menjangkau lapisan masa yang baru saja kuceritakan. Aku pun terbawa arus ingatan karenanya, pada saat di mana para lelaki seumuranmu masih bau keringat anak sekolahan dan merasakan kepanikan pagi sebab PR yang belum terkerjakan.

Andai kau tahu, saat itu aku telah lebih dulu mendulang keringat serta kepanikan yang lain, merasakan belaian, rengkuhan, bahkan kenikmatan yang tertukar kesucian. Sedangkan kau semakin jauh kutinggalkan.

Kau datang tak berselang lama setelah kuselesai membuka bungkus plastik bukumu yang berjudul Menjadi Jodoh Perempuan-Perempuan Terpilih. Belum sempat kupikirkan, bagaimana cara mendekat apalagi sekadar berbincang denganmu, kulihat kau keluar dari mobil dengan syal melingkar di leher. Seorang wanita yang bukan istrimu menyusul turun dan segera menggandeng tanganmu.

Perempuan berperawakan kecil itu menurutku tidak bisa dibilang cantik, namun terlihat anggun dari gerak tubuh dan caranya menanggapi lawan bicara. Tubuhnya kecil, rambut tergerai sebahu dengan pakaian warna gelap sederhana, tanpa dilengkapi perhiasan di leher ataupun pergelangan tangannya. Sesekali kau rangkul pundaknya, setiap kali orang-orang bergantian menyambut dan menyalami kalian.

Aku terpaku membayangkan istri dan anakmu, betapa mereka menjadi begitu istimewa kurasa saat ini. Sekejap kemudian menyusul rasa terasingku di antara para pengunjung yang ramai membicarakan puisi dan kamu. Sambutan, pembacaan dan tanggapan, bergantian memenuhi kejenuhan, menghunuskan kata-kata yang tak satupun kumengerti maknanya.

Tiba saat gilirannya kau bacakan puisi. Pembawa acara menjelaskan perihal gangguan serius pada tenggorokanmu sehingga perempuan itu yang akan menggantikan. Segera setelah mendengar itu, kuingin secepatnya undur diri dari keterasingan yang menjadi-jadi di permulaan malam kali ini.